Perumusan Kebijakan publik

Diposting oleh erfan setiawan on Senin, 17 Oktober 2011

Pelayanan pemerintah kepada masyarakat pada hakekatnya idnetik dengan berbagai bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh tiap Departemen atau Dinas di Daerah . Manifestasi dari berbagai bentuk kebiajakn diatas itulah yang selanjutnya akan dirasakan secara langsung ataupun tidak langsung oleh masyarakat.

Satu kebijakan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam kenyataanya tidak banyak menerima penolakan, dan sebaliknya, manakala formulasi kebijakan yang dirumuskan tidak merepresentasikan kebutuhan (rakyat banyak) serta kurang merespon ‘pasar', jelas mendapat respon negative dari rakyat selaku pihak yang harus menerima kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. 
Berbagai bentuk kebijakan pemerintah disini sebagai contoh untuk memudahkan pemahaman bahsan disini, misalnya :
- Kebijakan tata ruang. 
Satu perumusan kebijakan pembangunan yang terkait dengan upaya pemanfaatan tanah baik di wilayah perkotaan maupun non perkotaan dengan tujuan pengamanan lingkungan.
Kebijakan ini dalam kacamata konsep, jelas mempunyai niat yang mulia, tetapi dalam prakteknya sering kali atau bahkan selalu menimbulkan permasalahan dalam penerapan. Bentuk-bentuk permasalahan yang ada dapat berupa tidak diabaikanya keberadaanya oleh masyarakaat alias ‘dilanggar' atau dengan kata lain tidak dapat diterapakan dengan effektiv, bentuk lain yang ada dapat berupa : seandainya pemerintah merasa yakin dan mempunyai kapasitas untuk menerapkanya, yang terjadi adalah banyaknya kasus penggusuran yang selalu menimbulkan konflik horizontal maupun vertical.
- Kebijakan pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang dituangkan dalam Perpres nomor 65 tahun 2006 sebagai pengganti dari Perpres 36 tahun 2004
Dengan niat untuk menghindari permasalahan pengadaan tanah untuk pembangunan sarana dan prasana umum ditetapkanlah kebijakan ini. Fakta yang ada setelah bergulirnya otonomi dan desentralisasi, menjadi tidak mudah lagi bagi pemerintah (maupun pemerintah daerah) untuk pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan karena masalah harga yang tidak pernah sesuai antara penilaian kedua pihak (pemerintah dan pemilik tanah)
Keberadaan kebijakan ini diharapkan dapat mengatasi hal diatas. Akan tetapi tetap persoalanya tidak terpecahkan. Penolakan masih terjadi dalam upaya penerapanya.
- Kebijakan system tariff dan pintu terbuka Toll di Jakarta
Dapat diyakini, latar belakang darin kebijakan ini adalah satu niat mulia yakni penyesuaian terhadap angka inflasi dan upaya meningkatkan pelayanan dari pihak pemerintah yang dalam hal ini berkolaborasi dengan pihak Jasa Marga selaku pengelola.
Pemikiran sejumlah ahli dalam merumuskan kebijakan diatas, pada akhirnya menuai banyak kritik dan bahkan penolakan, termasuk pihak Legislasi dan YLKI. Pemerintah bersikukuh untuk menafikan berbagai kritik dan penolakan diatas dan tetap akan menjalankan kebijakan yang telah dirumuskan tersebut. Dengan alasan bahwa pemerintah sudah mensosialisaikanya lebih dari ukuran waktu yakni selama 3 minggu.

Kalau akan terus di daftar, maka daftar ini tidak akan ada habusnya, karena hampir setiap kebijakan yang dihasilkan tidak pernah ada yang berjalan mulus atau diterima secara baik (akal sehat maupun tidak). Untuk itu, bahasan berikutnya akan lebih mempertanyakan mengapa hal ini terjadi ?

Pertama, yang perlu disadari adalah bahwa tidak mungkin mereka ayang menyusun kebijakan tersebut bukan orang-orang pandai. Tetapi justru karena kondisi inilah, maka pertanyaan ini menjadi semakin sah atau valid.
Kedua, pihak pemerintah selalu pada posisi yang 'membuat' dan ini membawa konsekwensi adanya possessiveness . Secara psikologis bila hal ini terjadi, maka yanag terjadi adalah apapun input (baca : kritik) pastilah tidak akan diposisikan pada posisi yang kesekian atau tidak digubris bila tidak seiring dengan rumusan yang telah dibuat. 
Ketiga, setelah rumusan kebijakan dianggap sempurna (oleh pemerintah) dilakukanlah ‘sosialisasi' untuk ‘mendekatkan' apa yang dipikirkan oleh pemerintah dengan kemauan masyarakat., setidaknya meminimalisasi derajat penolakan.

Ketiga hal utama diatas inilah yang menjadi titik pangkal ketidak efektivan satu kebijakan pemerintah atau layanan yang harus diberikan pada masyarakat.
Sebelum membahas pada langkah alternatip solusi yang dapat ditawarkan disini, sebenarnya dari uraian diatas dapat juga disimpulkan bahwa :
Ukuran baik atau tidaknya pelayanan pemerintah (baca Menteri / Departemen atau Daerah) kepada masyarakat menjadi sangat mudah kriterianya. Tidak harus kembali pada pola konsepsual yakni menghitung capaian target atau lebih dikenal dengan penilaian kinerja yang pada kahirnya tidak pernah jelas. Ukuran bagi pemerintah untuk menilai apakah kinerja seorang Menteri atau daerah baik atau tidak menjadi cukup diwakili dengan marak atau tidaknya unjuk rasa atau keluhan atau penolakan yang dilakukan oleh masyarakat. Semakin banyak penolakan, semestinya dapat diartikan bahwa kinerja keMenterian tersebut buruk. Dan kalau Presiden mau memberikan shock therapy, turunkan Menteri tersebut. Pasti akibatnya rakyat akan lebih diperhatikan lebih baik atau pemerintah menjadi tidak sewenang-wenang membuat kebijakan (seperti saat ini). 
Kembali ke persoalan agar satu perumusan kebijakan dapat effektiv, langkah perbaikan yang dapat diusulkan berupa :
1. Untuk menghindari adanya orang pandai di pemerintah yang tidak hanya pandai ngotot : pokoknya kebijakan yang dirumuskan harus dipertahankan, sebaiknya penyusunan kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat banyak tidak disusun oleh pemerintah, tetapi oleh pihak independen di bidang kepakaranya, dan selanjutnya pihak tersebutlah yang diberi otoritas untuk menjalanakan proses uji-cobanya sebelum menjadikan draft kebijakan menjadi kebijakan pemrintah. Sehingga profesionalism, objectivity ataupun accountability nya menjadi jelas, dan pihak pemerintah diuntungkan serta masyarakat juga tidak merasa dibodohi oleh pemerintah.
2. Terlepas dari usulan pertama, khusus membicarakan makna sosialisasi terkait dengan perdebatan Toll di jakarta. Pihak Dep PU mengkalim bahwa proses sosialisasi sudah dilakukan selama kurang lebih 3 (tiga) minggu, jadi tidak ada lagi seharusnya komplain mengenai hal ini. Sosialisasi yang dilakukan adalah dengan memasang tulisan "akan segera dilakukan perubahan pembayaraan menjadi sistem terbuka"pada poster / spanduk yang besar.
Hal itu memang benar, tetapi jelas hal itu tidak cukup . Sudah juga harus diinformasikan mengenai apa yang akan terjadi, serta berbagai perkiraan akibatnya juga perlu disampaikan kepada masyarakat. Artinya, sosialisasi yang diperlukan adalah memberikan informasi 'apa yang akan dilakukan', 'apa yang akan terjadi' dan 'antisipasi apa yang diperlukan oleh masyarakat terhadap hal ini'. Itupun baru setengah sosialisasi. Bila ditambah dengan peluang akses untuk komplain, barulah makna sosialisasi menjadi  lengkap.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

sillahkan tinggalkan komentar anda,,,
agar saya bisa mengunjungi blog anda kembali.,. :)

Academics Blogs
blog directory Active Search Results Ping your blog, website, or RSS feed for Free Free Page Rank Tool Page Rank Checker
TIPS-BLOGBEGO W3 Directory - the World Wide Web Directory